Na's POV
Klotak… klotak…
Suara gigiku beradu tanpa henti.
Enggan rasanya keluar dari kehangatan selimut dan sleeping bag. Tapi, aku tak boleh egois. Aku harus segera memulai
pendakian ke puncak.
“Ayo, Na! kita harus segera
bergerak!” suara Kak Tanjung, pendampingku.
Seharusnya aku tak berada disini.
Seharusnya aku menuruti akal sehatku untuk menolak pendakian ini. Walaupun
acara ini adalah wajib hukumnya bagi anggota klub baru, tapi kan aku tetap bisa
mengelak. Karena pada nyatanya aku sangat lemah terhadap dingin. Hanya saja bayangan
untuk melihat Kak Tanjung selama dua hari tiga malam mengguncang akal sehatku.
“Masih kedinginan?” tanyanya
penuh perhatian. Sikap yang jarang ia tunjukkan padaku. Mungkin ia merasa
kasihan padaku yang terus menggigil tanpa henti.
Aku mengangguk. Oh, God. Padahal aku sudah pakai sweater musim
dingin, jaket almamater, dan jaket fakultas. Sampai-sampai aku terlihat seperti
beruang gunung. Tetap saja sensasi dingin itu merambati tulang-tulangku.
“Nih, pakai jaketku.” Ia
menawarkan jaket klub yang mulai ia lepaskan. Jaket yang akan kudapatkan saat
aku sampai di puncak nanti.
Kuhentikan gerakan tangannya. Sedingin
apa pun rasanya, aku tak akan membiarkan dia dan kemeja tipisnya bersentuhan
langsung dengan udara dini hari. “A—a—aku nggak boleh nyuri finish, kkkannn? La—Lagipula sebentar
lagi aku pasti dapet jaket yang sama.”
“Gimana bisa sampai puncak kalau
kamu menggigil terus?”
“Sebbbenarrrnya, a—aku b—bisa
berrrhenti menggi—gil.” Ucapku patah-patah, tapi aku yakin dia mengerti.
“Menarik sekali! Lakukan
sekarang.” Ia kembali ke dirinya yang biasa. Menggodaku.
“P—pe—pegang ta—tangankuuu.”
Tanpa banyak tanya, ia segera
menyambar tanganku. Mungkn ia sudah risih dengan suara gigi yang bergemeletuk.
Tangan kami yang membeku,
perlahan mulai menghangat. Cukup untuk menghentikan tubuhku yang gemetar.
“Bagaimana mungkin?” keheranan
terdengar jelas di nada suaranya.
“Penting ya?” lihat, Kak.
Sentuhan sederhana darimu bisa mengalihkan tubuh dan pikiranku dari dingin yang
menyergap. Apa jadinya coba kalau kau memberiku sedikit kepingan hatimu?
“Terserah kamu, deh. Ayo jalan!” ia
memilih untuk tak ambil pusing dengan reaksi tubuhku.
Kuikuti langkah tegapnya dengan
riang. Yang terpenting, saat ini Kakak ada di sampingku. Menggenggam tanganku. Menjagaku.
Hal lain seperti rasa dingin, rasa lelah, dan beraneka rasa lainnya tak lagi
jadi penting. Soal Maudy yang pasti akan mendampratku, peduli amat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar