“Aku nggak cukup ya buat kamu?”
dia menatapku dengan pandangan sayu.
Kucoba berhenti untuk berpikir
yang tidak-tidak. Mengabaikan sedikit ekspresi sedih yang ada di matanya. “Kenapa
tiba-tiba tanya kaya’ gitu?”
“Kamu selalu nyapa mereka dengan
senyum. Kamu ngomong sama mereka pake’ nada lembut. Bahkan, kadang-kadang ada
kesan manja. Emoticon yang kamu kirim
tiap sms-mu se-alay yang kamu kirimin ke aku.” Ia menghela napas. Seakan
hidupnya bertambah berat berkali-kali lipat. “Sepertinya, kedudukanku dengan
mereka di hatimu sama.”
“Kenapa kamu pikir kalau kamu itu
seharusnya beda?”
“Kita kan deket.”
“Mereka juga deket sama aku.”
Seulas senyum hadir di wajahku. Tak bisa kuungkiri kalau aku merasa senang
dengan kecemburuannya.
“Tapi aku kan lebih deket!”
“Apa buktinya?”
“Aku suka kamu.”
“Kamu pikir mereka nggak suka
aku?” percakapan ini makin menarik saja.
“Aku—“
“Kamu nggak pernah negasin status
kita. Itu artinya kita nggak punya ikatan apa pun selain teman, kan?” potongku.
Berbagai macam emosi berkecamuk di
wajahnya. Tapi aku lebih memilih untuk memperhatikan langit yang mulai merona
karena matahari senja. Tak tega melihatnya kesulitan.
“Kamu mau nggak jadi pacarku?”
ujarnya tiba-tiba.
“Nggak.” Jawabku santai. Kulihat
ia syok setengah hidup. Mungkin ia bingung dengan pernyataanku barusan.
“Ngapain juga pacaran? Rugi. Udah beresiko, dilarang sama agama, nggak
dilindungi undang-undang lagi. Mending nikah sekalian.”
“Eh, tapi kan kamu baru 19.”
Ingin aku tertawa. Ekspresinya
sore ini benar-benar tak ternilai harganya. “Yaelah… Ya nggak sekarang, kali.
Entar aja kalau udah ketemu jodoh.”
“Trus, kamu maunya sekarang gimana?”
“Pulang, yuk. Udah hampir
maghrib, nih.” Aku beranjak dari tempat kami. Melenggang ke arah gerbang
belakang. Membiarkan ia yang masih termangu.
“Tadi itu, kode ya?” lamat-lamat
kudengar ia bertanya pada dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar