[Boy’s POV]
Ibu jariku berhenti di atas
gambar telepon bewarna hijau. Keraguan lagi-lagi menghinggapi hatiku. Sudah
seminggu lebih aku ingin menelponmu. Tapi tarik ulur yang dilakukan hati dan
otakku selalu membuatku mundur.
“Assalamualaikum, Kak. Ada apa?”
suaramu keluar dari handphone-ku. Sepertinya tanpa sengaja aku menekan tombol
itu.
“Alaikumsalam. Udah makan?” kusuarakan
pikiran pertama yang muncul di otakku. Aku pasti terdengar sangat bodoh.
“Emang Kakak mau nraktir?”
“Nggak, tanya doang.”
“Ish! Kalau nanya doang,
jawabannya udah. Tapi kalau mau nraktir, lain cerita tu..h”
Aku terdiam. Tak tahu harus
berkata apa lagi. Bingung, bagaimana memulai pembicaraan ini.
“Halo!!! Kakak masih di situ?”
“Iya.” Sahutku pelan.
“Tumben nelpon aku. Kakak ada
perlu apa?” seperti biasa, kau bisa menebak apa yang sedang kupikirkan.
Mempermudahku untuk memulai pembicaraan.
“Aku ingin kita putus.” tanpa
basa-basi, kuutarakan niatku.
Hening. Tidak ada suara dari
ujung sana. Sepertinya, kau terkejut dengan permintaanku barusan. Mungkin
otakmu yang sudah mulai melambat kesulitan mencerna kata-kataku.
“Kalau Kakak bener-bener cowok,
ngomong langsung sama aku. Jangan lewat telpon begini. Aku aja nembak Kakak face to face. Masa’ Kakak mutusin aku
lewat telpon?” tanpa salam perpisahan, kau menutup sambungan.
Suaramu bergetar… Kau menahan
marah dan mungkin, air mata…
Drrt…
Belum juga satu menit, sebuah
pesan masuk. Darimu.
Kalau
perlu, kita ketemu di tempat dan waktu yang sama seperti dulu. Biar rasanya
makin tragis dan mencabik hati!
Aku tersenyum simpul. Kau dan
sikapmu yang berlebihan.
:: Taman ::
Kau duduk di bangku paling pojok.
Menghadap laptop merah tercinta. Ada dua gelas minuman di samping Si Merah.
Persis seperti setahun yang lalu.
Aku jadi ingat caramu memaksaku
untuk menerima cintamu. Kau menyuruhku makan sosis naga yang super pedas. Kemudian memberiku 2
minuman. Kalau aku memilih jus strawberry, berarti aku mau pacaran denganmu.
Dan jamu temu ireng kalau aku menolakmu. Dengan sedikit enggan, aku memilih jus
strawberry.
Sampai sekarang, aku masih ingat
ekspresi bahagiamu. Kali ini, tanpa ragu aku melangkah ke arahmu Ia gadis yang
luar biasa, kau berhak untuk lebih bahagia. Dan pastinya, bukan bersamaku.
“Udah lama?”
“Iya. Es-nya udah mencair nih, gara-gara
nungguin Kakak.” Kau menyodorkan gelas berisi cairan berwarna hitam padaku.
“Tenang aja… Ini coke, bukan temu
ireng.” Tambahmu.
Ternyata, kau masih ingat…
“Jadi, kenapa Kakak tiba-tiba minta
putus?”
“Emang kamu kira, kamu siapa?
Sampai-sampai minta alasan ke aku.”
“Aku calon mantan pacar Kakak.
Cewek yang pedekate ke Kakak selama 6 bulan lebih. Yang butuh waktu
berbulan-bulan untuk ngebuat Kakak suka sama aku. Dan setelah semua usaha itu kalau
Kakak bilang aku nggak berhak nerima penjelasan, berarti Kakak juga nggak
berhak untuk mutusin secara sepihak.” Suaramu masih lembut, tetapi kata-kata
yang kau gunakan lebih kasar dari biasanya.
“Sebenernya aku pengen putus dari
sebulan yang lalu.”
“Terus, apa alasan Kakak?” suaramu
sudah mulai bergetar.
“Semester depan, aku mulai sibuk.
Dan menurutku—“
“Kalau Kakak khawatir aku bakal ganggu,
aku akan nahan diri. Nggak akan ada SMS, telepon, chat, PM, dan sejenisnya
selama apa pun yang Kakak butuhin. Bahkan aku nggak perlu tahu Kakak masih
hidup apa nggak.”
“Diem dulu kenapa, sih? Belum
selesai ngomong juga.” Kau menggembungkan pipi sebal. “Menurutku, sebaiknya
kita putus. Kamu cari pacar baru sana. Kasian—“
“Kenapa baru kasihan sama aku
sekarang? Bukannya aku udah biasa ya sama sikap cuek Kakak? SMS jarang di
bales. Chat apa lagi? Di telpon, aku lebih sering denger suara operator
daripada suara Kakak. Ketemuan, paling di rapat organisasi. Atau kalau Kakak
pas lagi butuh aku.”
“Selain aku sibuk, aku—”
“Jangan bilang kalau Kakak udah
nggak cinta. Apalagi Kakak berani bilang ada cewek lain!”
“Emangnya kamu mau apa?”
“Aku bakal bongkar semua rahasia
Kakak ke cewek itu. Kakak pikir ada yang mau sama Kakak kecuali aku?”
Kau dan rasa pede-mu. But, you’ve got the point.
“Tuh, Kakak diem. Berarti aku
bener, kan? Udah deh, Kakak bilang aja sebenernya ada apa. Aku bakal ngertiin
Kakak, kok.”
“Permohonan beasiswaku ke Inggris
diterima. Juli tahun depan, aku berangkat.” Akhirnya kuutarakan juga masalahku.
“Berapa lama?”
“Tiga tahun.”
Untuk beberapa lama, kau menutup
mulutmu. Menatapku tanpa berkedip. Kemudian kau tersenyum, senyum semanis biasanya.
Senyum yang sangat kusukai.
“Selamat ya, Kak.” Nada bicaramu
kembali melembut, hangat dan ceria.
“Kamu nggak pa pa?”
Kau menggelengkan kepalamu. “Aku
kan nggak akan mati kalau nggak ketemu Kakak. Paling-paling nangis semaleman. Akhirnya
kita LDR-an beneran. Oh ya, April nanti, aku berangkat ke Jepang lho.”
“Ke Jepang?”
“Iya.”
“Berapa lama?” kuulangi lagi
pertanyaanmu.
“Lima tahun. Itu pun kalau aku
nggak jatuh cinta sama orang sana.”
“Jangan coba-coba de—“
“Makannya, kalau di chat itu, di
bales! Biar aku tahu kalau Kakak masih suka sama aku.”
“Emang selama ini aku suka kamu?”
“Kakak mau disiram coke ya?” ancammu sembari memegan gelas
yang masih setengah terisi.
“I love you, dek.”
Kau tertegun mendengar pernyataan
cintaku barusan. Pernyataan pertama setelah kita pacaran lebih dari setahun. Semburat
kemerahan mulai merona di pipimu. Lalu kau tersenyum lebar, matamu berbinar.
“You love me.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar