Sabtu, 03 Agustus 2013

Holding Your Hand



Na's POV
 
Klotak… klotak…

Suara gigiku beradu tanpa henti. Enggan rasanya keluar dari kehangatan selimut dan sleeping bag. Tapi, aku tak boleh egois. Aku harus segera memulai pendakian ke puncak.

“Ayo, Na! kita harus segera bergerak!” suara Kak Tanjung, pendampingku.
Ia yang akan menemaniku untuk mendaki. Melewati jalan agak landai yang memutar. Sehingga aku, si  anak baru ini bisa sampai di puncak bersamaan dengan teman-temanku yang sudah berpengalaman.

Seharusnya aku tak berada disini. Seharusnya aku menuruti akal sehatku untuk menolak pendakian ini. Walaupun acara ini adalah wajib hukumnya bagi anggota klub baru, tapi kan aku tetap bisa mengelak. Karena pada nyatanya aku sangat lemah terhadap dingin. Hanya saja bayangan untuk melihat Kak Tanjung selama dua hari tiga malam mengguncang akal sehatku.

“Masih kedinginan?” tanyanya penuh perhatian. Sikap yang jarang ia tunjukkan padaku. Mungkin ia merasa kasihan padaku yang terus menggigil tanpa henti.

Aku mengangguk. Oh, God. Padahal aku sudah pakai sweater musim dingin, jaket almamater, dan jaket fakultas. Sampai-sampai aku terlihat seperti beruang gunung. Tetap saja sensasi dingin itu merambati tulang-tulangku.

“Nih, pakai jaketku.” Ia menawarkan jaket klub yang mulai ia lepaskan. Jaket yang akan kudapatkan saat aku sampai di puncak nanti.

Kuhentikan gerakan tangannya. Sedingin apa pun rasanya, aku tak akan membiarkan dia dan kemeja tipisnya bersentuhan langsung dengan udara dini hari. “A—a—aku nggak boleh nyuri finish, kkkannn? La—Lagipula sebentar lagi aku pasti dapet jaket yang sama.”

“Gimana bisa sampai puncak kalau kamu menggigil terus?”

“Sebbbenarrrnya, a—aku b—bisa berrrhenti menggi—gil.” Ucapku patah-patah, tapi aku yakin dia mengerti.

“Menarik sekali! Lakukan sekarang.” Ia kembali ke dirinya yang biasa. Menggodaku.

“P—pe—pegang ta—tangankuuu.”

Tanpa banyak tanya, ia segera menyambar tanganku. Mungkn ia sudah risih dengan suara gigi yang bergemeletuk.

Tangan kami yang membeku, perlahan mulai menghangat. Cukup untuk menghentikan tubuhku yang gemetar.
“Bagaimana mungkin?” keheranan terdengar jelas di nada suaranya.

“Penting ya?” lihat, Kak. Sentuhan sederhana darimu bisa mengalihkan tubuh dan pikiranku dari dingin yang menyergap. Apa jadinya coba kalau kau memberiku sedikit kepingan hatimu?

“Terserah kamu, deh. Ayo jalan!” ia memilih untuk tak ambil pusing dengan reaksi tubuhku.

Kuikuti langkah tegapnya dengan riang. Yang terpenting, saat ini Kakak ada di sampingku. Menggenggam tanganku. Menjagaku. Hal lain seperti rasa dingin, rasa lelah, dan beraneka rasa lainnya tak lagi jadi penting. Soal Maudy yang pasti akan mendampratku, peduli amat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar