Sabtu, 02 November 2013

Keputusan



Ai membuka amplop pertama dengan hati-hati. Perlahan, matanya menyusuri deretan tulisan dan angka berwarna hitam yang tertera di kertas hvs  di tangannya. Sampailah ia pada kesimpulan. Aman.
Kemudian ia beranjak membuka amplop kedua. Berdoa sepenuh hati. Berharap bahwa isinya tak jauh berbeda dengan amplop pertama. Tapi harapan tinggal lah harapan. Tulisan dan angka yang tercetak di sana, menghancurkan hatinya. Walaupun begitu, Ai terus membaca hingga mencapai kesimpulan di bagian akhir tulisan itu. Ia membacanya berulang-ulang. Terus, sampai ia yakin bahwa ia tak melewatkan satu pun detail yang ada. Tak melewatkan satu pun harapan yang masih tersisa.

Akhirnya ia menyerah. Keajaiban yang dinanti tak datang. Berapa kali pun tes yang ia ambil. Berapa kali pun hasil tes yang ia baca. Tetap saja sama. Sebuah ketidakmungkinan.
Dada Ai tiba-tiba terasa sesak. Pandangannya terkaburkan oleh air mata. Isakan kecil mulai ia keluarkan. Secercah asa yang masih dipendamnya, pergi meninggalkan jiwanya yang rentan. Bersamaan dengan air mata yang mengalir, ia menetapkan pilihannya.



“Jadi, apa jawabanmu?” tanya Misaki. Pagi tadi ketika Ai meneleponnya, ia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Rasa penasaran dan kecemasan yang telah menumpuk dalam dadanya seakan menghilang tanpa bekas. Karena ia tahu. Ia merasakan bahwa Ai juga mencintainya. Perasaan yang sama dengan miliknya. Hanya saja, gadisnya terlalu keras kepala dan juga bimbang.

“Maaf, aku tak bisa…” sebuah jawaban diluar perkiraan Misaki.

“Apa?” tanyanya sekali lagi. Ia tak percaya dengan apa yang ditangkap oleh indra pendengarannya. Pasti ada kesalahan.

Tapi Ai menatapnya penuh keyakinan. Tanpa keraguan. “Maaf. Aku tak bisa menerima pinanganmu.”

Misaki tercengang. Seakan Ai berbicara dalam bahasa lain yang ia tak mengerti. Perlahan otaknya mulai memproses kata-kata sang kekasih hati. ‘Ia tak bisa. Ia tak menerima pinanganku. Ia tak ingin hidup bersamaku. Ia menolakku.

Apakah semua senyuman manis yang telah terukir palsu? Benarkah kelembutan mata yang terpancar hanyalah halusinasi? Dan getar-getar halus yang ia rasakan adalah kesemuan?

Akhirnya Misaki keluar dari fase shock dan menemukan kembali kata-katanya. “Kenapa?”

Ai menghela napas penuh depresi seakan ia lelah dengan semua ini. Kemudian ia mengulurkan amplop kedua yang ia buka kemarin. “Semua alasanku, tertera disitu.”

Misaki membuka amplop itu terburu-buru dan memindainya sekilas.

‘Rh negative’

‘Karier jantung lemah’

‘Penyakit bawaan’

‘50% elechytro blastheasis’

‘89% jantung lemah’

‘91% cacat seumur hidup’

‘93% meninggal dalam kandungan’

Misaki merasa bahwa ia sudah cukup banyak membaca. “7%. Calon anak kita punya kesempatan sebesar 7% untuk hidup. Bukankah itu cukup?”

“Tidak.” Ai menjawab dengan tegas.

“Kau yang kukenal selama ini tak akan menyerah walau kemungkinan berhasil hanya seper sekian persen.”

“Aku tidak akan mempertaruhkan hidup bayi yang tak berdosa. Tidak akan pernah.”

Misaki tahu, ia tak akan bisa mengubah keputusan Ai yang satu ini. Mengorbankan diri sendiri dan orang lain adalah hal yang jauh berbeda. Tapi ia tak bisa menyerah sekarang. “Kita bisa menikah tanpa punya anak.”

“Jangan egois! Kau harus punya anak! Kau pikir siapa yang akan melanjutkan keturunan keluarga Takahata selain dirimu?” Ayah Misaki adalah anak tunggal, begitu pula dengan Misaki sendiri. Ai tak akan sanggup menanggung rasa bersalah karena menghancurkan garis keturunan keluarga itu. Bayangan Ibu Misaki yang sakit-sakitan memantapkan keputusan hatinya. “Terima saja. Kita memang tidak ditakdirkan untuk bersatu.”

“Jadi kau akan memilih Yuto?” Keluarga Nakajima punya dua orang putra. Mungkin saja…

“Tidak. Aku tak akan menikah.”

“Kenapa? Bukannya kau selalu ingin menikah di usia muda?”

Ai tersenyum simpul. Cita-cita naïf itu, Misaki masih mengingatnya dengan baik. “Jantungku terlalu lemah untuk melahirkan seorang anak. Hidup akan terlalu sulit tanpa seorang Ibu.”

“Tapi kau tetap bertahan sampai saat ini. Tidakkah kau berpikir bahwa anakmu nanti juga sekuat dirimu?”

“Aku bukan gadis yang kuat, Misaki. Dan kau tahu benar itu. Orang-orang yang ada di sampingku lah yang menguatkan diriku. Belum tentu anakku nanti berada di posisi yang sama. Aku hanya tak mau mengambil resiko.”

“Kau memang tak pernah membiarkan orang lain menderita. Hm…”

“Kau kenal aku dengan baik.” Ai menawarkan senyum manisnya. “Semua hal, antara kau dan aku adalah nyata. Hanya saja, kita tak ditakdirkan untuk bersama.”Lagi-lagi, takdir mempermainkan kita...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar