Kamis, 12 Desember 2013

Kode



“Aku nggak cukup ya buat kamu?” dia menatapku dengan pandangan sayu.

Kucoba berhenti untuk berpikir yang tidak-tidak. Mengabaikan sedikit ekspresi sedih yang ada di matanya. “Kenapa tiba-tiba tanya kaya’ gitu?”

“Kamu selalu nyapa mereka dengan senyum. Kamu ngomong sama mereka pake’ nada lembut. Bahkan, kadang-kadang ada kesan manja. Emoticon yang kamu kirim tiap sms-mu se-alay yang kamu kirimin ke aku.” Ia menghela napas. Seakan hidupnya bertambah berat berkali-kali lipat. “Sepertinya, kedudukanku dengan mereka di hatimu sama.”

“Kenapa kamu pikir kalau kamu itu seharusnya beda?”

“Kita kan deket.”

“Mereka juga deket sama aku.” Seulas senyum hadir di wajahku. Tak bisa kuungkiri kalau aku merasa senang dengan kecemburuannya.

“Tapi aku kan lebih deket!”

“Apa buktinya?”

“Aku suka kamu.”

“Kamu pikir mereka nggak suka aku?” percakapan ini makin menarik saja.

“Aku—“

“Kamu nggak pernah negasin status kita. Itu artinya kita nggak punya ikatan apa pun selain teman, kan?” potongku.

Berbagai macam emosi berkecamuk di wajahnya. Tapi aku lebih memilih untuk memperhatikan langit yang mulai merona karena matahari senja. Tak tega melihatnya kesulitan.

“Kamu mau nggak jadi pacarku?” ujarnya tiba-tiba.

“Nggak.” Jawabku santai. Kulihat ia syok setengah hidup. Mungkin ia bingung dengan pernyataanku barusan. “Ngapain juga pacaran? Rugi. Udah beresiko, dilarang sama agama, nggak dilindungi undang-undang lagi. Mending nikah sekalian.”

“Eh, tapi kan kamu baru 19.”

Ingin aku tertawa. Ekspresinya sore ini benar-benar tak ternilai harganya. “Yaelah… Ya nggak sekarang, kali. Entar aja kalau udah ketemu jodoh.”

“Trus, kamu maunya sekarang gimana?”

“Pulang, yuk. Udah hampir maghrib, nih.” Aku beranjak dari tempat kami. Melenggang ke arah gerbang belakang. Membiarkan ia yang masih termangu.

“Tadi itu, kode ya?” lamat-lamat kudengar ia bertanya pada dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar